Minggu, 08 April 2012

Komisi I DPR Desak RUU Penanganan Konflik Dibatalkan

Ilustrasi (Okezone)
Ilustrasi (Okezone)

JAKARTA - Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), meminta agar RUU Penanganan Konflik Sosial (PKS) dibatalkan di paripurna DPR. Pasalnya, RUU tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang pengerahan TNI.

"Ini sebaiknya ditunda untuk dibongkar pasalnya, kalau perlu tidak ada, karena ini soal perbantuan TNI yang sebenarnya tidak perlu ada, dan ini bertentangan dengan UU 34 Tahun 2004 dan UU Polisi," kata anggota Komisi I dari Fraksi PDI Perjuangan, Helmy Fauzi dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (8/4/2012) malam.

Menurut Helmy, pengerahan TNI harus persetujuan DPR dan merupakan hak prerogatif presiden dengan persetujuan DPR. Sementara,  dalam pasal 34 ayat 1 dan 2 RUU PKS disebutkan tentang pelibatan TNI dalam penanganan konflik yang ada di daerah-daerah melalui kepala negara.

"Ini tidak dibenarkan dan penyalahgunaan kewenangan presiden, ini rawan penyalahgunaan kewenangan TNI dalam konflik," tegasnya.

Disamping bertentangan dengan UU pengerahan TNI, RUU PKS ini rawan bagi dunia politik. Menurutnya, jika RUU PKS ini disahkan nantinya, maka TNI akan terseret dalam kepentingan politik, khususnya dalam konflik-konflik yang terjadi di wilayah-wilayah.

"Ini bisa menfasilitasi TNI terseret-seret konflik politik. Ini bertentangan dengan UU 34/2004 tentang TNI," imbuhnya.

Dia melanjutkan, beberapa pasal yang dinilai bermasalah misalnya Pasal 1 ayat (1) (Definisi konflik) yang memperlihatkan cara pandang keliru karena melihat konflik semata sebagai sesuatu yang negatif dan cenderung bersifat kekerasan.

Menurutnya, sebagai fenomena alamiah, konflik tidak bisa dihindarkan. Konflik dapat terjadi dimanapun dan melibatkan siapapun. Definisi konflik sosial yang dirumuskan dalam Pasal ini cenderung meluas dan multitafsir.

"Bisa saja kelompok petani, buruh, mahasiswa yang menyuarakan hak-haknya karena ketidakadilan penguasa dikategorikan sebagai kelompok yang terlibat dalam konflik sehingga militer bisa digunakan untuk menghadapinya," papar Helmy.

Pasal bermasalah lain yaitu Pasal 17 Penetapan Status Keadaan Konflik Ketentuan Pasal 17 ayat (1) tentang pengaturan “status keadaan konflik” yang terdiri atas skala kabupaten/kota, skala provinsi, skala nasional), yang sesungguhnya bisa dimaknai sama dengan 'status darurat sipil' sebagaimana diatur dalam UU Prp No. 23 Tahun 1959.

Bahkan menurutnya, RUU ini lebih longgar, potensial menimbulkan persoalan dari segi hukum dimana ketentuan ini akan melahirkan kerancuan dan pertentangan istilah dengan UU yang terlebih dulu ada.  Ketentuan di Pasal 17 ayat (1) ini yang tidak perlu ada karena telah ada pengaturannya.

"Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20 ketentuan yang diatur dalam sejumlah pasal ini yang menyatakan bahwa kepala daerah (Gubernur, Bupati/Wali Kota) dapat menetapkan daerahnya dalam “status keadaan konflik”, yang artinya juga bisa dimaknai darurat sipil, menyalahi hukum tatanegara darurat," katanya.

Pemberian kewenangan ini lanjut Helmy, secara jelas bertentangan dengan konstitusi dan UU Prp No. 23 Tahun 1959 yang menegaskan bahwa baik itu penetapan maupun penghapusan status keadaan bahaya merupakan kewenangan Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

"Dengan demikian, kepala daerah mulai dari Gubernur dan Bupati/Wali Kota, sesungguhnya tidak memiliki kewenangan sama sekali sehingga pengaturan tersebut dapat dipandang bentuk pengambilalihan kewenangan Presiden," tukasnya.

Demikian pula mengenai Pasal 34 yang memberikan kewenangan kepada kepala daerah (Gubernur, Bupati/Wali Kota) untuk meminta pengerahan dan penggunaan TNI melalui Forum Koordinasi Pimpinan Daerah bertentangan dengan Konstitusi 1945 dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dinilainya melewati kewenangan presiden.

(put)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar