Kamis, 03 Mei 2012

Membincang Tema Avant-Garde ala Foucault


Judul : Agama, Seksualitas, Kebudayaan; Esai, Kuliah, dan Wawancara Terpilih Michel Foucault
Penulis : Jeremmy R.Carette (ed)
Editor : Muhammad Fayyadl
Penerbit : Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan : I, Agustus 2011
Tebal : xxvi + 366 halaman
ISBN : 978-602-8252-57-7

Jamak diketahui, Michel Foucault adalah salah satu filsuf Prancis yang memiliki perhatian serius terhadap pelbagai ranah disiplin kemanusiaan, filsafat, seksualitas, feminisme, sejarah dan sosial, termasuk juga agama. Tapi permasalahannya, apa jadinya jika Foucault membincang sekaligus memerkarakan diskursus agama dan teologi? Buku ini adalah  jawabannya.
 
Buku ini dibuka dengan pengantar James Bernauer, profesor filsafat di Boston College Massachusetts AS, dengan pernyataannya, bahwa praktik intelektual Foucault pada tahap akhir ini lebih dekat pada gaya tertentu praktik diri Kristen awal ketimbang gaya pagan. Ambisi praktiknya bukan hendak menguatkan jiwa atau mengonfirmasi dalam kebenarannya, tapi meninggalkannya, melanggar batas-batasnya. Bahkan, menciptakan kembali hubungan kita dengannya. Sehingga, ciri khas gaya intelektual Foucault disini adalah “melampaui” tanpa batas, bahkan tak mengenal batas sama sekali.
    
Jeremmy Carette, dosen kajian agama di University of Stirling Inggris sekaligus penyunting buku ini, adalah salah satu di antara sekian banyak pengamat pemikiran Michel Foucault yang telaten mendedah, menelisik, serta mengkritisi persoalan agama, seksualitas dan kebudayaan secara komprehensif. Dalam buku ini, Carette mendedahkan pelbagai filsafat Foucault yang tampak ‘aneh’, khususnya ihwal agama dan teologi, karena sejatinya Foucault selama hidupnya jarang —untuk tidak menyebut tak pernah— bersinggungan dengan diskursus agama dan teologi secara intens.    
Ada sebuah dialog menarik, dalam buku ini, antara Foucault dan Voeltzel ketika membicang hakekat agama. Voeltzel menyatakan dalam La Religion, bahwa agama adalah sandiwara menyeramkan dan sangat buruk yang tak pernah punya daya tarik sama sekali. Ia tak lebih hanyalah seabrek kemunafikan yang terus-menerus dipenuhi dengan kebohongan-kebohongan tiap hari. Sehingga, aku pun membencinya. Namun, Foucault justru menyanggahnya dengan berkata ,“Oh tidak, bagiku agama adalah sebuah kekuatan politis yang sarat instrumen kekuasaan yang hebat untuk dirinya sendiri. Sepenuhnya ia terjalin dengan elemen-elemen imajiner, erotis, efektif, badani, sensual, dan seterusnya. Sehingga, ia sangat hebat!” (hal: 150). Dari sini, bisa disimpulkan bahwa agama, bagi Foucault, bukan sebagai alat mendakwahkan “kebohongan-kebohongan”, tapi ia telah menjadi alat politik kekuasaan suatu egara untuk menguasai pelbagai aspek lainnya. Sehingga, seakan-akan disini, ia justru sangat mengapresiasi eksistensi agama, padahal sebagaimana jamak diketahui ia adalah salah satu filsuf postmodern yang gemar menolak kemapanan. Apa ini bukan aneh?

Buku ini menyajikan pelbagai esai, kuliah, serta wawancara tema-tema avant garde (garda depan) Foucault yang “tak biasa”, seperti kematian Tuhan, penyimpangan relijius dan medis, kuasa pastoral, rasio politik, transgresi, Budisme Zen, dan lain sebagainya. Saya kira, tema-tema semacam ini masih langka pembahasannya dalam kajian filsafat, apalagi dengan perspektif Foucault. Sehingga, meski di satu sisi tema-tema ini adalah tema-tema asing, rumit, dan penuh kejanggalan, tapi di sisi lain tema-tema ini justru menantang “libido” bagi para penikmat filsafat.

Sebagai tamsil, dalam judul “Kuasa Pastoral dan Rasio Politik (1979)” dielaborasi bahwa hubungan antara rasionalitas dan ekses kekuatan politis adalah nyata. Idealnya, kita tak perlu mempersoalkan atau “mengadili” rasio, sebab mengadili atau mendebatkan peran rasio justru akan membawa kita pada permainan peran yang semena-mena, menjenuhkan dan sia-sia belaka, baik sebagai rasionalis atau irasionalis.

Meski begitu, setidaknya Foucault telah memberikan tiga saran ihwal penyelidikan antara peran rasionalisasi dan kuasa. Pertama, hal bijak yang perlu dilakukan bukanlah membicarakan “rasionalisasi” masyarakat atau kebudayaan sebagai sebuah keseluruhan, melainkan menganalisis proses ini dalam beberapa ranah yang berlandaskan pengalaman fundamental—seperti kegilaan, penyakit, kematian, seksualitas, dsb— justru lebih penting dan berguna. Kedua, istilah “rasionalisasi” sebenarnya adalah kata yang berbahaya. Sebab, persoalan utama ketika orang mencoba merasionalisasi sesuatu bukanlah menyelidiki apakah mereka sesuai dengan prinsip-prinsip rasionalitas atau tidak, tapi justru menemukan jenis rasionalitas apa yang sedang mereka gunakan. Ketiga, meski pencerahan merupakan fase yang sangat penting dalam sejarah perkembangan teknologi politis, namun kita harus merujuk pada pelbagai proses yang jauh lebih terdahulu jika kita ingin memahami bagaimana kita terperangkap dalam sejarah kita sendiri. Inilah yang disebut Foucault sebagai ligne de conduit (alur pemikiran) (hal: 195).

Lalu, ada juga diskursus inti Foucault bertajuk “Seksualitas dan Kekuasaan”. Ketika Foucault ditanya, Mengapa harus mengerjakan sejarah Seksualitas? Maka, Foucault pun menjawab, “Yang saya ingin lakukan dalam karya tentang Sejarah seksualitas ini bukan untuk menyatakan secara tepat apa konsep-konsepnya, teori-teorinya, atau pelbagai penegasannya. Tapi, mengapa masyarakat Barat, atau katakanlah Eropa, memiliki kebutuhan yang sangat besar terhadap sebuah ilmu seksual (scientia sexualis)? Atau dengan kata lain, mengapa kami orang-orang Eropa ingin, selama beribu-ribu tahun, mengetahui kebenaran mengenai seks kami ketimbang sekadar memperoleh kenikmatan seks? Dari situlah, maka karya Foucault berjudul History of Sexuality hingga empat jilid dilahirkan.  

Buku ini sungguh merupakan sebuah lompatan sejarah yang luar biasa dalam disiplin filsafat, khususnya pemikiran filsafat Foucault, karena hemat saya masih sangat jarang kajian filsafat bertema avant garde yang melebihi kualitas buku ini. Diakui atau tidak, mungkin bagi sebagian kalangan pengkaji filsafat pemula buku ini sangat sulit dicerna, lantaran isi kajian serta penuturan bahasanya yang cukup rumit dan membutuhkan pemikiran ekstra. Namun, dibalik itu, sebenarnya buku ini hendak menyuguhkan pencerahan sekaligus “keanehan” nyata dalam diskursus filsafat.

Peresensi adalah Ammar Machmud, penikmat filsafat, alumnus IAIN Walisongo Semarang


(//mbs)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar